TIMES SALATIGA, PACITAN – Suasana khas kemaritiman kembali menggema di kawasan Pelabuhan Tamperan Pacitan, Kamis (26/6/2025), saat Festival Nelayan Pacitan 2025 resmi digelar.
Acara ini diselenggarakan bertepatan dengan peringatan 1 Muharram 1447 Hijriah dan menjadi agenda tahunan yang ditunggu-tunggu masyarakat pesisir, terutama para nelayan.
Ketua Panitia Festival, Ferizal, mengungkapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara dengan baik.
"Semoga ke depannya acara ini bisa lebih baik lagi," ucapnya.
Rangkaian Prosesi Festival
Arak-arak kirab tumpeng sebelum dilepas ke laut selatan Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Mengawali acara sejak pagi, festival dimulai dengan tasyakuran laut, yakni tradisi turun-temurun yang menjadi simbol syukur para nelayan atas hasil tangkapan selama setahun.
Prosesi dilanjutkan dengan kembul bujono, kirab tumpeng, dan larung sesaji di perairan pelabuhan Tamperan.
Wakil Bupati Pacitan, Gagarin Sumrambah, mewakili Bupati Indrata Nur Bayuaji, menyampaikan bahwa potensi kelautan Pacitan sangat besar dan prospektif.
“Garis pantai sepanjang 70,7 kilometer membentang di tujuh kecamatan dan 26 desa, dengan kekayaan sumber daya ikan yang sangat beragam,” jelas Gagarin.
Menurutnya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga putra daerah Pacitan, tidak salah ketika mencetuskan tagline "70 Miles of Sea Paradise" sebagai penggambaran potensi bahari Pacitan.
“Festival ini bukan sekadar hiburan, tapi juga bentuk syukur dan doa bersama agar laut tetap memberi berkah, serta mempererat jalinan sosial masyarakat pesisir,” lanjutnya.
Kemeriahan acara berlanjut siang hari dengan hiburan, pengajian, dilanjutkan dengan pentas wayang ruwatan.
Festival ini juga menjadi bagian dari program Kharisma Event Nusantara dari Kemenparekraf RI. Melalui agenda budaya berbasis masyarakat ini, pemerintah daerah berupaya mempromosikan wisata lokal sembari menggerakkan ekonomi masyarakat melalui stand kuliner dan produk UMKM.
Makna Besar di Balik Tayakuran Laut
Larung sesaji dalam rangka sedekah laut Festival Nelayan Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Dalam ceramahnya, Ustadz Masruhan menegaskan bahwa tasyakuran laut bukan tindakan musyrik, tetapi justru sejalan dengan ajaran agama.
“Sedekah itu penolak bala. Bahkan ikan di laut ikut merasakan. Mereka bertasbih lebih sempurna daripada manusia, tapi mereka iri karena manusia bisa sujud,” katanya.
Masruhan menekankan bahwa bentuk kasih sayang kepada alam, termasuk kepada laut dan isinya, adalah wujud nyata dari spiritualitas seorang Muslim. “Barang siapa yang menyayangi makhluk di bumi, maka makhluk langit pun akan menyayanginya,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, sesepuh nelayan Pacitan, Suratno Mandor, menyampaikan apresiasinya kepada pemerintah daerah.
“Terima kasih karena telah mengangkat dan menyetarakan kami nelayan kecil dengan nelayan dari daerah lain. Kami butuh perlindungan agar dapat menggapai kesejahteraan masa depan,” ucapnya haru.
Suratno juga mengungkapkan bahwa nelayan kini sedang menghadapi tantangan berat akibat cuaca ekstrem. “Tangkapan ikan menurun drastis. Kami tetap patuh aturan, tapi mohon suara kami juga diperhatikan,” pintanya.
Festival Nelayan Pacitan 2025 bukan sekadar pesta rakyat, tetapi menjadi ruang kolektif untuk mengungkapkan syukur, memperkuat tradisi, menyuarakan aspirasi serta menggairahkan perekonomian lokal. Lebih dari itu, festival ini adalah potret kehangatan sosial yang lahir dari laut dan budaya yang tidak pernah lekang oleh waktu. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tasyakuran Laut Festival Nelayan Pacitan 2025 Warnai Tradisi 1 Muharram 1447 Hijriah
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |