TIMES SALATIGA, JAKARTA – Nasib warga Palestina dimasa depan masih belum pasti karena terjadi pertentangan antara Israel dan faksi-faksi yang ada di Palestina. Israel menentang pendirian Negara Palestina, sementara faksi-faksi Palestina menolak perwalian asing dengan rencana kehadiran militer asing di Gaza.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan anggota pemerintahannya telah menggarisbawahi penentangan mereka terhadap negara Palestina menjelang pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang akan dilangsungkan Senin (17/11/2025) hari ini mengenai sebuah resolusi yang mendukung rencana perdamaian Gaza yang didukung AS.
"Penentangan kami terhadap negara Palestina di wilayah mana pun tidak berubah," kata Benjamin Netanyahu pada rapat kabinet hari Minggu.
Netanyahu dikritik anggota koalisinya, termasuk Menteri Keuangan sayap kanan, Bezalel Smotrich, yang menuduhnya gagal menanggapi gelombang pengakuan negara Palestina baru-baru ini oleh negara-negara Barat.
"Formulasikan segera tanggapan yang tepat dan tegas yang akan memperjelas kepada seluruh dunia, bahwa tidak akan ada negara Palestina yang berdiri di tanah air kami," desak Smotrich kepada Netanyahu.
Minggu kemarin Benjamin Netanyahu menjawab bahwa ia tidak membutuhkan penegasan, cuitan, atau ceramah dari siapa pun.
Menteri-menteri lain juga menyatakan penolakan mereka terhadap negara Palestina, meskipun tidak ada yang secara eksplisit merujuk pada resolusi tersebut.
"Kebijakan Israel jelas: tidak akan ada negara Palestina yang didirikan," tulis Menteri Pertahanan Israel Katz, Minggu kemarin.
Menteri Luar Negeri, Gideon Saar juga mengatakan bahwa negara itu tidak akan menyetujui pembentukan negara Palestina di jantung Tanah Israel.
Tokoh sayap kanan sayap kanan dan Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben Gvir melangkah lebih jauh, menyebut identitas Palestina sebagai “penemuan.”
Rancangan resolusi tersebut untuk menindaklanjuti kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dimana isinya berbeda dengan rancangan sebelumnya. Versi terbaru resolusi tersebut menyebutkan kemungkinan berdirinya negara Palestina di masa depan.
Israel sendiri saat ini khawatir dengan langkah Amerika Serikat yang memulai memulihkan hubungan dengan Hamas untuk melanjutkan penerapan resolusi gencatan senjata yang menuju pembentukan Negara Palestina itu.
Dilansir Al Jazeera, para pejabat Israel menyatakan kekhawatirannya tentang apa yang mereka sebut pemulihan hubungan antara pemerintahan AS dan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas).
Israel tidak menyetujui terbentuknya negara Palestina dan seorang Menteri Pertahanannya, Israel Katz telah mengeluarkan ancaman akan melucuti senjata Hamas "sampai ke terowongan terakhir."
Mengutip Walla, menurut pejabat Israel, bahwa pemulihan hubungan antara utusan Timur Tengah AS, Steve Wittkopf dan Hamas telah "mengkhawatirkan mereka".
The New York Times mengutip dua sumber informasi yang mengatakan bahwa Wittkopf berencana akan segera bertemu dengan pemimpin Hamas, Khalil al-Hayya.
Sebuah sumber yang mengetahui hal itu mengatakan kepada surat kabar tersebut, bahwa gencatan senjata di Gaza akan menjadi salah satu topik yang ingin dibahas Wittkov dengan Khalil al-Hayya.
Namun menurut sumber New York Times itu, waktu dan tanggal pasti pertemuan tersebut masih belum jelas, dan ada kemungkinan rencana tersebut bisa berubah.
Surat kabar itu mengatakan bahwa pertemuan tersebut menegaskan bahwa pemerintahan Donald Trump memelihara jalur komunikasi langsung dengan Hamas, meskipun Amerika Serikat telah mengklasifikasikan Hamas sebagai "organisasi teroris".
Rancangan resolusi tersebut akan menindaklanjuti kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang ditengahi oleh Presiden AS Donald Trump dan memberikan restu dewan untuk pemerintahan transisi dan pasukan keamanan internasional sementara di wilayah yang hancur itu.
Faksi Palestina Menolak Kehadiran Militer Asing
Sementara itu faksi-faksi di Palestina juga menolak perwalian asing dengan aman dihadirkannya militer asing di Gaza atau pangkalan internasional di Jalur Gaza. Mereka menilai hal itu merupakan pelanggaran langsung terhadap kedaulatan nasional.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan Minggu tadi malam, faksi-faksi tersebut mengkritik rancangan resolusi Amerika Serikat yang akan ditentukan Senin hari ini oleh Dewan Keamanan PBB.
Faksi-faksi Palestina mengatakan hal itu berbahaya karena membuka jalan bagi dominasi asing atas pengambilan keputusan nasional Palestina.
Faksi-faksi tersebut menambahkan bahwa rancangan resolusi tersebut mengubah administrasi dan rekonstruksi Gaza menjadi badan supranasional internasional, sehingga merampas hak warga Palestina untuk mengelola urusan mereka sendiri.
Mereka juga menekankan bahwa rancangan resolusi untuk membentuk pasukan internasional di Jalur Gaza itu bertujuan untuk memaksakan perwalian internasional di Jalur Gaza dan menyampaikan visi yang bias.
Faksi dan pasukan Palestina menekankan bahwa setiap upaya kemanusiaan harus dikelola melalui lembaga Palestina yang relevan di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pernyataan tersebut menolak klausul apa pun yang berkaitan dengan pelucutan senjata Gaza atau pelanggaran hak perlawanan rakyat Palestina, dan menekankan bahwa setiap diskusi mengenai senjata harus tetap menjadi masalah nasional yang terkait dengan proses politik yang menjamin berakhirnya pendudukan.
Pada saat yang sama, faksi dan pasukan Palestina menyerukan adanya mekanisme internasional untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas pelanggarannya dan atas tindakannya membuat penduduk kelaparan dengan mengendalikan penyeberangan.
Namun juru bicara Hamas, Hazem Qassem tadi malam mengatakan, bahwa amandemen terhadap rancangan resolusi AS yang akan disampaikan ke Dewan Keamanan itu tidak menguntungkan stabilitas situasi di Jalur Gaza , dan memperingatkan bahwa rancangan ini menggantikan pendudukan Israel dengan jenis perwalian yang berbeda.
Qassem mengatakan, bahwa amandemen proyek tersebut memberikan entitas non-Palestina perwalian atas realitas internal Palestina, dalam hal pemerintahan dan keamanan, selain mencampuri urusan internal tanpa menunggu pengaturan Palestina yang mengatur diri sendiri.
Menurut juru bicara Hamas itu, alternatifnya adalah mengeluarkan resolusi PBB yang memperkuat gencatan senjata dan pasukan penjaga perdamaian internasional di Gaza.
Ia menekankan perlunya proyek tersebut untuk menyatakan dengan jelas misi pasukan ini, yaitu untuk menahan dan memisahkan tentara Israel yang mengepung warga sipil di Gaza, serta untuk mempertahankan gencatan senjata.
Karena pertentangan antara keinginan Israel dan faksi-faksi yang ada di Palestina itu, kini nasib warga Palestina di Gaza masih jauh dari kepastian. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Masa Depan Gaza Masih Dipertentangkan Antara Israel dan Faksi-faksi Palestina
| Pewarta | : Widodo Irianto |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |